Skip to main content

Pa, Pulang



Ramadhan tentu saja menjadi oase ditengah gurun 11 bulan duniawi. Tentu saja, rahmat, taufiq, hidayah, ampunan berlimpah dan di’diskon’ kepada siapa-siapa yang mau. Kalau diskon baju saja pada berebut, kenapa ini tidak. Sungguh sayang tentunya kan?.
Bebicara tentang baju diskon, tentu tak lepas dari baju baru, akrab juga dengan ‘pelengkap’ ketika Lebaran, puncak dan perayaan setelah ramadhan penuh perjuangan (paling tidak seharusnya begitu). Hati baru yang telah dipermak selama masa pengeblengan bernama Ramadhan ini di’perkakas’kan berupa kebendaan serba baru, sebutlah baju, sepatu, sandal, sarung, kebaya, setelan seragam sekeluarga, bros, kerudung atau tetek bengek lainnya, kalau TIDAK, maka bukan lebaran namanya. Rasa-rasanya sentimen ini begitu melekat di benak kita, mungkin karena dari kecil kita sudah dididik, dicontohkan hal-hal kebendaan ini.
Saya ingin mengatakan, tidak salah dengan barangbarang baru itu, jika darinya muncul kecintaan, muncul kebanggan akan sebuah kemenangan, muncul semangat berkobar cerah dalam diri secerah setelan baju warna kuning. Tapi kalau kita sudah mendekati (atau bahkan sudah) me-WAJIB-kan perwujudan kebendaan serba baru ini harus ada ketika lebaran, bagaimanapun kondisinya, berapapun harganya, harus harus harus, kalau gak kita pisah. Nah loh, kita terjebak. Kita terjebak persepsi yang kita dan lingkungan kita buat sendiri. Kalau malu dilihat tetangga karena baju kita tahun lalu dipakai lagi, apa kita tidak lebih malu pada Yang Maha Melihat jika hati kita, perilaku kita sama saja sebelum dan sesudah ramadhan, tidak ada progress tidak ada kemajuan dan perbaikan. Tidakkah kita lebih malu jika harus menghalalkan segala cara, sampai-sampai marah pada suami karena tak memberi kebendaan baru pemuas nafsu itu, sampai-sampai terucap “Mboh piye carane, kudu tuku klambi anyar, titik” DYAAR kalau sampai begini, suami keluar malam, pakai topeng, nunggu orang di jalan buat dihadang, sampai-sampai dia lewat jalan haram, apa tega? apa mau?.
Teringat lagu jadinya “Baju baru alhamdulillah, dipakai di hari Raya, tak punyapun tak apa-apa, masih ada baju yang lama.” (Lupa penciptanya). Idul Fitri adalah kembali Fitri, suci dan bersih ibarat bayi yang baru lahir, kalau kita lihat bayi dia tidak memakai baju kan? Dia tidak pakai sepatu baru kan ketika lahir? Tidak. Dia lahir dengan diliputi cinta. Maka mari liputi dan sambut kemenagan dengan cinta.
Pa, pulang, tak usah keluar malam, tak usah baju baru juga tak apa, baju tahun lalu masih bagus kok. Pa, pulang, anak-anak kangen. Ibunya anak-anak juga” kalau SMS kaya gini dah masuk di Inbox suaminya, gak bakal deh jadi pakai topeng, langsung dia pulang terbirit-birit, peluk anak, peluk istri, minta maaf dan berikhtiar membahagiakan keluarga, dengan jalan yang di Ridhoi Allah tentu saja.
Sebagai anak kita juga bisa melakukan hal sama, perlu dicontohkan? Ah kamu bisa jadi (dan memang seharusnya) lebih tau apa yang lebih dibutuhkan keluargamu ketika lebaran, jadilah anak sholih sholihat, tidak banyak menuntut, tapi lebih baik berbuat patut.

Wallahu alam bi showaf

Comments

  1. "Pa, Pulang."

    Istrimu siapa dod? -,-

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. wkkwk siapa yg sms gitu dod. sip2. tetep produktif ya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pemikiran berkembang

Ada dua hal yg menjadi catatan bergaris bawah (selain catatan lainnya) dr lembar 1-35 Buku Tourism marketing 3.0 yang sedang saya baca. Pertama adalah pergeseran dari individual ke social, dalam konteks ini adalah inisiatif pada masyarakat yg merata saat ini, yaitu masyarakat yg akses pendidikan, pengetahuan, jaringan, komunikasi dapat terjangkau oleh siapa saja, inisiatif dan perubahan tidaklah hadir dari satu orang superpower, tetapi merupakan kolektif dalam komunitas atau kelompok masyarakat yg mempunyai kesamaan persepsi dan mau bergerak bersama. Maka kawan,  temukan 'squad/clan' dan berusahalah menjadi superteam untuk sebuah kebaikan, bukan (hanya) menjadi superman. Kedua adalah generasi (yg) tua akan berfikir bahwa pengalaman adalah pengetahuan paling berharga, padahal diera sekarang perubahan itu datang dengan begitu cepat dan masiv, maka masa depan akan sangat dinamis dan berubah dari kondisi yang lalu, maka jangan hanya sibuk menengok kebelakang tapi tataplah kedepan

Prof ODi#1 Edible Insect

Design by Media/Jaringan KSE 2017 Halooo, Assalammualaikum, senang sekali malam ini bisa bertatap chat dengan sarangers semuaa, semoga selalu sehat dan bahagia disana. Moderator: Sevi Ratna Sari 1. Mas Dodik, sebenarnya Edible Insect itu apa sih??? Temen2 pasti dah tau, secara bahasa mungkin dapat diartikan sebagai serangga yang dapat dimakan.Tapi dimensinya sangat luas, dengan inti adalah "Pangan". Dimensinya bisa ke arah bisnis, sosial masyarakat, kesehatan dan gizi, teknologi, konservasi. 2. Wah, luas sekali berarti ya mas...􀄃􀇏Moon cry􏿿  Jadi kalu mau dibuat spesifikasi, serangga pa saja mas yang berpotensi sebagai edible insect? Apakah semua serangga? Dan sebenarnya apa yang membuat serangga itu dapat dikonsumsi oleh manusia? Nah, ini juga yang waktu itu ditanyakan oleh dosen pembimbing skripsi (Drs. Ign. SUdaryadi, M.Kes) waktu awal-awal konsul. Menurut Van Huis et al. (2013) serangga yang dapat dikatakan sebagai edible adalah yang memenuhi kriteria:

Pasca Kampus dan Gaya Hidup

Sudah seharusnya dan sewajarnya pada masa post modern seperti sekarang kita merasakan masamasa pasca pendidikan, pendidikan formal khususnya. Karena pasca bangku sekolah sungguh banyak ladang ilmu yang masih perlu dicangkul, digali sari pati pelajarannya. Ilmuilmu praktis yang bisa langsung dipraktekkan dan seringkali langsung berdampak. Selain itu, pasca sekolah juga menjadi ladang, bagi merekamereka untuk mencangkul dan menanam harapan, menumbuhkan semangat dan menuai hasilnya, yg tidak hanya sendirian menikmatinya, tapi untuk bersama. Idealnya begitu. Tapi setelah menapakinya, tenyata masih hutan belantara, ladang yg ideal belum ditemukan. Ada beberapa kemungkinan, kita terjebak dan tersesat tanpa pernah membuat ladang itu terwujud, atau kita terpaksa menumpang ladang orang, menjadi follower saja. Atau pilihan yg kebanyakan millenial menyukainya adalah menjadi orang yg membuka lahan sendiri. Tapi ini berat kawan. Tapi bukan mustahil. Banyak sekali semak menyesatkan, lumpur pengh