‘’Semakin dekat pekerjaan itu
dekat dengan tanah, semakin kurang berkelaslah pekerjaan itu minke” kata Ibu
minke dalam Novel Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya. Dan tentu kita sepakat
jika petani, adalah profesi yang sangat dekat dengan bahan hasil pelapukan
batuan dan materi organik ini (tanah). Petani dipandang dari sisi historisnya
telah menjadi kemampuan muthakhir dalam perkembangan umat manusia yang awalnya
berpindah-pindah dan hanya berburu, lalu berkembang menjadi bercocok tanam,
memproduksi sumber makanan melalui pertanian. Sudah barang tentu ini merupakan
kelakuan sadar manusia jika alam tidak mampu lagi menghasilkan sesuatu untuk
memenuhi kebuuhan populasi manusia yang semakin meningkat, jika tidak melakukan
suatu proses produksi. Pada tahun 1980 Robert Maltus mencentuskan ‘Revolusi
Hijau’ yang diartikan sebagai peningkatan produksi pertanian semaksimalnya dan
menekan pertumbuhan penduduk seminimalnya. Di Indonesia pada khususnya melalui
Presiden Soeharto mencanangkan pembukaan lahan besar-besaran, produksi padi
ditingkatkan dengan drastis hingga bisa mencapai swasembada, meski disisi lain
terjadi pergeseran budaya dan ketergantungan akan beras dikemudian hari yang
sekarang begitu mengakar di benak rakyat indonesia. Dari pembahasan awal singkat ini saja kita
sepakat bahwa pertanian memegang sektor vital dalam kehidupan manusia berbangsa
dan bernegara. Disisi lain, perhatian kita (masyarakat pada umumnya) dan
pemerintah khususnya masih menjadikan pertanian sebagai sektor yang ditangani
setengah-setengah, atau bahkan bagi kita hanya sedikit memperhatikan, jika
tidak mau dibilang sama sekali tidak memperhatikan. Ambil contoh, harga rendah
dan kesejahteraan petani yang belum terpenuhi, regenerasi petani yang mandek,
kebiasaan kita mengkonsumsi bahan impor dan segan memakai bahan lokal,
membuang-buang makanan (food waste),
dan lain sebagainya.
Banyak masalah dan sekaligus
peluang kebaikan dalam sektor pertanian ini. Jika berfokus pada kesejahteraan dan
hak-hak petani maka kita seakan dibawa kembali ke tahun 1912 saat Syarikat
Dagang Islam terbentuk. SDI terbentuk berlatar dari kesenjangan sosial yang
sangat jauh pada masa itu, serta kebangkitan pribumi yang sudah tak terbendung
lagi akibat tekanan yang begitu mengakar, keinginan merdeka mencuat dan
menjadi-jadi dan SDI lah wadahnya. Sebagai organisasi memiliki kemampuan dalam
mengadvokasikan kebutuhan dari anggota-anggotanya serta memberikan hak-hak yang
seharusnya dimiliki berkaitan dengan pemenuhan kewajiban yang mengiringinya.
Dari SDI masih relevan rasanya kita bawa kekondisi sekarang. Petani Butuh
organisasi. Ya.
Terdapat berbagai macam
asosiasi/perkumpulan/kelompok pertanian, mulai dari yangg level desa hingga
nasional. Kelompok-kelompok ini memiliki banyak kegitan bersifat vertikal,
melakukan komunikasi diantar petani sendiri, menjalankan kegiatan seperti
pelatihan penanaman dengan berbagai metode, hingga cara-cari pengolahan hasil
ter-up to date. Tetapi masih ada satu fungsi kritis yang dilupakan, peran
kelommpok ini ke arah horizontal.
Peran horizontal yang dimaksudkan
adalah peranan kelompok ini menjadi jembatan dalam menyuarakan pendapatnya,
kebutuhannya. Melalui organisasi suara tadi diakui keabsahannya, tidak lagi
menjadi pendapat subjektif yang sering diremehkan, tetapi telah bermanuver dan
bermetamorfosis menjadi bentuk lain, ‘Suara Petani’. Suara yang sebelumnya
jarang-jarang muncul, sekali muncul bunyinya serak akibat tiap hari melakukan
kerja berat untuk menghadirkan nasi hangat di piring-piring kelaparan kita. Tidak lagi. Suaranya menjadi menjadi suara yang lantang dan bermartabat.
Tentu, motif ekomomi ada, tapi
bukan hanya itu, peranan horizontal ini lebih jauh adalah untuk meningkatkan
kedaulatan pangan itu sendiri, untuk memenuhi targetan-targetan statistik, dan
untuk mengisi perut-perut kita tentunya. Hidup petani Indonesia!.
Comments
Post a Comment