Skip to main content

Jalan Layang Kita


Pagi itu, pukul tujuh, hampir sama seperti hari-hari sebelumnya, tak ada yang terlalu spesial, tak jauh berbeda, rutinitas yang sama saja sejak beberapa bulan terakhir. Syukur ku ucap, bagaimana tidak? Setiap harinya ku hirup udara segar, hati dan jiwapun tenang dan merasa aman, membayangkan diluar sana, banyak-banyak orang yang ketakutan setiap harinya, bahkan kata harapan menjadi sesuatu yang langka bagi mereka, padahal itu satu-satunya senjata melawan takut menurut Snow (2012) .
Melewati jalan magelang jam segitu, padat dan cepat, ciri-ciri jalan lintas provinsi, penghubung antara D.I. Yogyakarta dengan Jawa Tengah utamanya. Plat AA dan AB berlomba-lomba memacu kendaraan melaju memasuki kawasan perkotaan yang mulai memadat ini. Pada titik pertemuan antara Jalan ini dengan jalan lingkar (ringroad) utara, merupakan titik yang aku nikmati, kenapa? karena titik ini merupakan proyek bertahun yang telah rampung dan berdiri gagah melambangkan kota metropolitan, flyover.
Berbicara mengenai pemilik nama lain jalan layang ini, mengingatkanku saat tiba di kuala lumpur dan bangkok, juga jakarta. Kota-kota yang dinobatkan sebagai ibukota bagi negara masing-masing, pemandangan jalan serupa sangat biasa, karena memang sebuah keharusan dan syarat sebuah kota metropoloitan untuk tetap berjalan dan hidup.
Seperti kita, kita adalah kota itu sendiri, dan jalan layang adalah komunikasinya. Kalau mau maju, harus baik, harus terjaga dan cukup. Jika sempit, atau bahkan tak ada, maka akan menyendat kemajuan  atau bahkan mematikan sekalian. Membangun jalan layang dalam komunikasi pada keluarga, teman, kolega dan siapa saja, perhatikan seberapa kebutuhannya, berapa besar muatannya, seberapa ramai jalannya, siapa yang boleh dan tak boleh melewatinya. Harus diaturkan. Setidaknya, perkiraanku begitu.

Dan jika belum butuh flyover, jalan biasa aja cukup. Tidak perlu aneh-aneh. Yang pokok-pokok dulu, saat ini. Santai saja, Biasa saja. Jalan setapak masih cukup.

Comments

Popular posts from this blog

Pemikiran berkembang

Ada dua hal yg menjadi catatan bergaris bawah (selain catatan lainnya) dr lembar 1-35 Buku Tourism marketing 3.0 yang sedang saya baca. Pertama adalah pergeseran dari individual ke social, dalam konteks ini adalah inisiatif pada masyarakat yg merata saat ini, yaitu masyarakat yg akses pendidikan, pengetahuan, jaringan, komunikasi dapat terjangkau oleh siapa saja, inisiatif dan perubahan tidaklah hadir dari satu orang superpower, tetapi merupakan kolektif dalam komunitas atau kelompok masyarakat yg mempunyai kesamaan persepsi dan mau bergerak bersama. Maka kawan,  temukan 'squad/clan' dan berusahalah menjadi superteam untuk sebuah kebaikan, bukan (hanya) menjadi superman. Kedua adalah generasi (yg) tua akan berfikir bahwa pengalaman adalah pengetahuan paling berharga, padahal diera sekarang perubahan itu datang dengan begitu cepat dan masiv, maka masa depan akan sangat dinamis dan berubah dari kondisi yang lalu, maka jangan hanya sibuk menengok kebelakang tapi tataplah kedepan

Prof ODi#1 Edible Insect

Design by Media/Jaringan KSE 2017 Halooo, Assalammualaikum, senang sekali malam ini bisa bertatap chat dengan sarangers semuaa, semoga selalu sehat dan bahagia disana. Moderator: Sevi Ratna Sari 1. Mas Dodik, sebenarnya Edible Insect itu apa sih??? Temen2 pasti dah tau, secara bahasa mungkin dapat diartikan sebagai serangga yang dapat dimakan.Tapi dimensinya sangat luas, dengan inti adalah "Pangan". Dimensinya bisa ke arah bisnis, sosial masyarakat, kesehatan dan gizi, teknologi, konservasi. 2. Wah, luas sekali berarti ya mas...􀄃􀇏Moon cry􏿿  Jadi kalu mau dibuat spesifikasi, serangga pa saja mas yang berpotensi sebagai edible insect? Apakah semua serangga? Dan sebenarnya apa yang membuat serangga itu dapat dikonsumsi oleh manusia? Nah, ini juga yang waktu itu ditanyakan oleh dosen pembimbing skripsi (Drs. Ign. SUdaryadi, M.Kes) waktu awal-awal konsul. Menurut Van Huis et al. (2013) serangga yang dapat dikatakan sebagai edible adalah yang memenuhi kriteria:

Pasca Kampus dan Gaya Hidup

Sudah seharusnya dan sewajarnya pada masa post modern seperti sekarang kita merasakan masamasa pasca pendidikan, pendidikan formal khususnya. Karena pasca bangku sekolah sungguh banyak ladang ilmu yang masih perlu dicangkul, digali sari pati pelajarannya. Ilmuilmu praktis yang bisa langsung dipraktekkan dan seringkali langsung berdampak. Selain itu, pasca sekolah juga menjadi ladang, bagi merekamereka untuk mencangkul dan menanam harapan, menumbuhkan semangat dan menuai hasilnya, yg tidak hanya sendirian menikmatinya, tapi untuk bersama. Idealnya begitu. Tapi setelah menapakinya, tenyata masih hutan belantara, ladang yg ideal belum ditemukan. Ada beberapa kemungkinan, kita terjebak dan tersesat tanpa pernah membuat ladang itu terwujud, atau kita terpaksa menumpang ladang orang, menjadi follower saja. Atau pilihan yg kebanyakan millenial menyukainya adalah menjadi orang yg membuka lahan sendiri. Tapi ini berat kawan. Tapi bukan mustahil. Banyak sekali semak menyesatkan, lumpur pengh