Skip to main content

Prof ODi#1 Edible Insect

Design by Media/Jaringan KSE 2017


Halooo, Assalammualaikum, senang sekali malam ini bisa bertatap chat dengan sarangers semuaa, semoga selalu sehat dan bahagia disana.

Moderator: Sevi Ratna Sari

1. Mas Dodik, sebenarnya Edible Insect itu apa sih???

Temen2 pasti dah tau, secara bahasa mungkin dapat diartikan sebagai serangga yang dapat dimakan.Tapi dimensinya sangat luas, dengan inti adalah "Pangan". Dimensinya bisa ke arah bisnis, sosial masyarakat, kesehatan dan gizi, teknologi, konservasi.

2. Wah, luas sekali berarti ya mas...􀄃􀇏Moon cry􏿿
 Jadi kalu mau dibuat spesifikasi, serangga pa saja mas yang berpotensi sebagai edible insect?
Apakah semua serangga? Dan sebenarnya apa yang membuat serangga itu dapat dikonsumsi oleh manusia?

Nah, ini juga yang waktu itu ditanyakan oleh dosen pembimbing skripsi (Drs. Ign. SUdaryadi, M.Kes) waktu awal-awal konsul. Menurut Van Huis et al. (2013) serangga yang dapat dikatakan sebagai edible adalah yang memenuhi kriteria: 1. Penerimaan oleh masyarakat (golongan masyarakat, red.) 2. Memiliki nilai nutrien bermanfaat 3. Menguntungkan secara ekonomi dan 4. Ramah lingkungan. Jadi tidak berpatokan secara morfometri, ukuran, volume, asal dia memenuhi kriteria diatas, si serangga bisa disebut edible. (dengan catatan edible yg sustain)

3. Memiliki nilai nutrien? Jadi nutrient apa mas yang ada (banyak) di Edible Insect secara umum?

Secara umum kandungannya mirip crustacea (udang khususnya). karena adanya karapaks. Kaya akan protein, lemak baik, kalsium, zat besi dan zinc. yang jika dibandingkan, kandungan protein serangga bisa mencapai 14-18 g/100g (Belalang), lobster 17-19 g/100g.

4. Nah, skirpsinya mas Dodik kan tentang keanekargaman Orthoptera (grasshopper)dan potensinya sebagai Edible Insect.

Sebenarnya, kalau boleh tahu sejak kapan sih mas Dodik tertarik dengan dunia Edible insect dan mengapa? Apakah salah satu alasannya karena masuk KSE? Hahaha􀄃􀅹hahaha􏿿


Kalau masuk KSE, karena yang nyangkut2 sama pertanian ya KSE jadi masuk deh, hehe. sama kayaknya ada panggilan hati gitu #ceileh. Kalau tertarik edible insect sih berawal dari fakta adanya belalang goreng di gunung kidul yang diperjual belikan, terlebih saat masih maba dulu sering diskusi sama kakak2 KSE misal Mb Tanti Rahayu yg asli Gunungkidul, beliau banyak cerita tentang masyarakat yg udah akrab sama konsumsi serangga ini. Karena akunya tertarik pangan (suka makan juga) jadi klop dah. Juga waktu dapat rejeki mampir ke Thailand, banyak banget jenis Arachnida, Scorpio, Serangga, yang dijadikan makanan dan dijual dipinggir jalan ditempat wisata, udah kaya jualan pentol aja. Amazing.

5. Pertanyaan selanjutnya mas, sebenarnya isu Edible Insect di kancah global sendiri sudah sejauh mana? Dan bagaimana denganEdible Insect  Indonesia?

Pada tataran global edible insect udah digadang-gadang sebagai (salah satu) pangan alternatif untuk masa depan umat manusia (wew) yg diperkirakan pada 2050 akan mencapai 9,7 milyar jiwa yg pada 2005 hanya 6,5 milyar. Kebutuhan pangan tentu meningkat, apalagi pertumbuhan ekonomi yg semakin meningkat dan pendidikan yang semakin baik membuat masyarakat sadar akan kebutuhan gizinya. Disisi lain, produksi pangan untuk kebutuhan protein melalui peternakan sapi dan teman2nya membutuhkan luas lahan yg tidak sedikit, maka terjadi konflik kepentingan lahan antara peningkatan produksi pangan dan kebutuhan infrastruktur dan tempat tinggal. FAO memandang serangga hanya membutuhkan baiaya sedikit, emisi sedikit, ruang yang sedikit, dapat menjadi salah satu solusinya. FAO banyak menerbitkan jurnal, laporan dan uku tentang ini. Peneliti juga banyak yang fokus kesana, misal Prof. Arnold van Huis, peneliti dari wageningen university. Kalau di Indonesia, belum banyak yang fokus dengan ini. jadi peluangnya besar. yang aku sempat tau, anak UB udah ada startup tentang minyak dari serangga untuk mengantikan minyak sawit, ada juga penggunaan tepung serangga sebagai campuran mie, masih dari UB lagi. Dulu anak KSE ada juga yang buat sampai didanai PKM, yaitu Mb Anthi, buat Nugget belalang.

6. Peluang Edible Insect di Indonesia sebenarnya sangat luas, namun saat ini masih belum dikembangkan. Nah, harapan mas kedepannya tentang Edible Insect ini seperti apa?􀄃􀈔big smile􏿿

Harapannya, dikembangkan. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan (menurutku)
1. Penelitian dan Pengkajian tentang ini, mulai dari yang mendasar hingga aplikasi
2. Promosi dan pengenalan kepada masyarakat secara luas
3. Penerimaan oleh masyarakat (sebagai alternativ/diversifikasi)
4. dukungan dari stakeholder untuk Edible insect
5. Swasta/orang yg mau berinvestasi
itu mungkin

Tanya Jawab

1.Perkenalkan Saya Erwin
saya mau bertanya kepada mas dodik
 Sebenarnya hal apakah yang menjadikan alasan utama Masyarakat Gunungkidul (pada umumnya) memilih Orthoptera sebagai edible insect? apakah ada kaitanya dengan kondisi geografis gunungkidul sendiri (daerah Karst dan hutan jati)

Jawab:Terimakasih Erwin Pertanyaannya,
menurut kajian dan penelitian yang aku lakukan (a.k.a Skripsi) alasan masyarakat sangat beragam, aku urutkan ya dr yg paling besar, 1. Karena memang disukai, 2. Kandungan gizi, 3. Tradisi, 4. mudah didapat/harga murah. Dodik Dermawan Kondisi geografis dan lingkungan berhubungan dengan yg ke 4, yaitu mudah didapatkan.Sebenarnya masyarakat tidak hanya mengkonsumsi belalang, tapi juga jenis serangga lain seperti ulat jati, laron, dll

2. (Putri)  Jika serangga dijadikan sebagai bahan pangan,  bagaimana tindaklanjut utk mmperthankan populasi serangga tsb agar ttp seimbang dlm ekosistem menurut saudara Dodik?
Sementara kita tau,  walaupun serangga memiliki siklus reproduksi yg relatif singkat, serangga,  (trrkhusus herbivora)  jg btuh makanan & tempat hidup yg luas.

Jawab: Betul sekali put, ini aspek penting yang harus diketahui untuk Edible insect. Namanya makanan, tidak hanya enak, murah, tapi ketersediannya juga harus ada, juga tentu perannya di alam juga harus ada. Ini cocok dengan aspek Edible insect yg ke 4 (di awal td). Beberapa jenis seperti Tenebrio sp. sudah banyak di kembangbiakkan, dan beberapa jenis lain (seperti yg Nu'man td juga share: Video peternakan kecoak di Tiongkok), beberapa jenis lain memang masih sulit diternakkan, seperti Locus migratorius misal, karena dia punya kebiasaan migrasi, atau juga Valanga (potensial buat riset), tapi beberapa jenis kan merugikan petani (hama) jadi malah win win solution, hama berkurang, pangan terpenuhi.

3. (Fanu)
Tanya: Baik. Nama saya Fanuel dr KSE angkatan 18. Saya mau tanya apakah dengan pengambilan serangga utk makanan bisa mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem ? Dan apa yg harus dilakukan bila serangga dijadikan pangan tanpa menggangu ekosistem yg ada ?

Jawab:
Ini masih nyambung sama Mbak Putri ya Fanu, jadi memang overharvesting akan berpengaruh pada ekosistem, pengaruhnya (dan besaran dampaknya) tergantung peran jenis serangga di ekosistem. Usaha2 yang dapat dilakukan adalah dengan monotoring populasi serangga di alam, dan usaha untuk produksi.

4. Nama saya Ifta
Apakah edible insect di Indonesia hanya ada di Yogyakarta tepatnya di gunung kidul? dan apakah edible insect tersebut telah melalui uji2 klinis?

Jawab:

Edible insect tidak hanya di GK atau YK saja, tapi seluruh dunia :). Khususnya di negara berkembang atau dunia ketiga. Afrika paling banyak konsumennya, Asia, Amerika latin, dll kalau eropa memang jarang. Edible insect sendiri telah menjadi bagian dari masyarakat sehingga bisa disebut kearifan lokal (ibarat jamu tradisional), terbukti sebagai bahan makanan selama ratusan tahun sejarah manusia. Uji klinis dilakukan untuk mendukung kearifan lokal yang ada, sepengetahuanku banyak yang mengkaji mengenai kandungan gizinya dan potensi penyakit yang mungkin ada, resiko2, keuntungan2.

5. Saya anggi Syabani, Microlyristes corpolaris KSE XVIII mau bertanya, kan tadi dijelaskan salah satu syarat edible itu penerimaan dari masyarakat, nah di Indonesia ini sejauh mana masyarakat bisa menerima? Apa mungkin ini bisa jadi sebab salah satu hambatan tidak berkembangnya edible insect di Indonesia?

Jawab:
Wah, bagus pertanyaannya (semua bagus2 sih haha). Betul anggi, bahkan ditataran dunia khususnya Eropa dan Amerika, pada umumnya masyarakat sana memandang mengkonsumsi serangga sebagai kebiasaan yg primitif, karena di Indonesia pada umumnya melihat tren dari sana, maka juga terkait. Jadi secara umum masyarakat belum menerima, maka penting untuk promosi dan inovasi produk.

6. Tanya: Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Selamat malam Kaka
Apa kabar mas Dodik
Perkenalan ya kaka, Saya Rudy Dwi Prakoso,Menarik sekali diskusi malam ini, makasih pemaparan nya Kaka
Oh iya saya ada hal yang mengganjal nih,
Menurut kaka yang membedakan kepopuleran serangga dengan crustacea untuk dijadikan bahan makanan itu gimana yak Kaka? Diharapkan dengan itu nanti semoga diketahui langkah-langkah yang tepat untuk sosialisasi dan promosi ke masyarakat agar dapat dengan mudah diterima

Jawab: Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh rud, alhamdulillah kabar baik. :D. bagaimana kabar kalian?
Nyambung sama Anggi, jadi memang kepopuleran ini nyambung sama penerimaan masyarakat. Crustacea telah banyak dikenal masyarakat, banyak dipromosikan, banyak dikembangkan, inovasi produknya juga bejibun, makanya populer. Strategi yang bisa dilakukan salah satunya adalah Famous people effect, misalnya Presiden Jokowi atau Raisa makan belalang dan disiarkan di TV, masyarakat akan secara naluriah penasaran dan ingin mencoba, mengikuti public figur.

7. Assalamualaikum Wr. Wb
Nama saya Syamsul Arif Ardiansyah angkatan XVII
Pertnyaan:
a. Kak apakah edible insect ini akan menyaingi produksi daging di masa yang akan datang? Terutama produksi daging sapi yang menjadi sumber emisi metana? Dan melihat kawasan penyebaran belalang contohnya tidak semua tempat ada

b. Bagaimana cara mengembangakan edible insect dalam skala luas, tidak hanya dalam pedesaan atau daerah melainkan dapat menjadi sumber devisa negara?

Terimakasih sebelumnya untuk Jaringan yang sudah mefasilitasi, Sevi yang sduah memandu dan segenap penduduk sarang yang antusias. Semoga diskusi ini tidak berakhir sebagai angin lalu, tapi bisa menjadi tambahan wawaan kita bersama, syukur2 ada yg mau penelitian atau berinovasi di ranah yg ento bgt ini (aamiin) hehe. Mohon maaf jika ada salah dan khilaf, kalau kedepan ada perbaikan atau koreksi bisa disampaikan disini. :). Terus mengali ilmu dr mana aja, banyak alumni yg jauh lebih bisa berbagi sama temen2 dibidang kesehatan, beasiswa, keanekaragaman, ekspedisi, riset di luar negeri, dll.

Akhirul kalam.
Wassalammualaikum Wr. Wb.



Comments

Popular posts from this blog

Pemikiran berkembang

Ada dua hal yg menjadi catatan bergaris bawah (selain catatan lainnya) dr lembar 1-35 Buku Tourism marketing 3.0 yang sedang saya baca. Pertama adalah pergeseran dari individual ke social, dalam konteks ini adalah inisiatif pada masyarakat yg merata saat ini, yaitu masyarakat yg akses pendidikan, pengetahuan, jaringan, komunikasi dapat terjangkau oleh siapa saja, inisiatif dan perubahan tidaklah hadir dari satu orang superpower, tetapi merupakan kolektif dalam komunitas atau kelompok masyarakat yg mempunyai kesamaan persepsi dan mau bergerak bersama. Maka kawan,  temukan 'squad/clan' dan berusahalah menjadi superteam untuk sebuah kebaikan, bukan (hanya) menjadi superman. Kedua adalah generasi (yg) tua akan berfikir bahwa pengalaman adalah pengetahuan paling berharga, padahal diera sekarang perubahan itu datang dengan begitu cepat dan masiv, maka masa depan akan sangat dinamis dan berubah dari kondisi yang lalu, maka jangan hanya sibuk menengok kebelakang tapi tataplah kedepan

Pasca Kampus dan Gaya Hidup

Sudah seharusnya dan sewajarnya pada masa post modern seperti sekarang kita merasakan masamasa pasca pendidikan, pendidikan formal khususnya. Karena pasca bangku sekolah sungguh banyak ladang ilmu yang masih perlu dicangkul, digali sari pati pelajarannya. Ilmuilmu praktis yang bisa langsung dipraktekkan dan seringkali langsung berdampak. Selain itu, pasca sekolah juga menjadi ladang, bagi merekamereka untuk mencangkul dan menanam harapan, menumbuhkan semangat dan menuai hasilnya, yg tidak hanya sendirian menikmatinya, tapi untuk bersama. Idealnya begitu. Tapi setelah menapakinya, tenyata masih hutan belantara, ladang yg ideal belum ditemukan. Ada beberapa kemungkinan, kita terjebak dan tersesat tanpa pernah membuat ladang itu terwujud, atau kita terpaksa menumpang ladang orang, menjadi follower saja. Atau pilihan yg kebanyakan millenial menyukainya adalah menjadi orang yg membuka lahan sendiri. Tapi ini berat kawan. Tapi bukan mustahil. Banyak sekali semak menyesatkan, lumpur pengh