Skip to main content

Mengemudikan Kendaraan, Menjaga Kesadaran

Mungkin sudah menjadi rutinitas kita dalam berkendara kita memegang kendali kemudinyanya, apalagi di Negara seperti indonesia yang mass transportation baru-baru saja berkembang dan belum menjangkau semua kalangan. Kepemilikan kendaraan pribadi menjadi hal yang lumrah bahkan harus, maka tidak heran dalam satu rumah bisa memiliki 3 kendaraan roda dua, satu untuk kakak ke sekolah, satu untuk ibu ke pasar dan standby di rumah, satu lagi buat ayah ke tempat kerja.
Ada hubungan menarik terkait manusia dan kendaraannya yang ingin saya kupas, satu ini adalah terkait antara aspek psikologis dan kendaraan itu sendiri. Menurut Benjamin Bloom dalam bukunya Taxonomy of Educational Objective (1956) disebutkan jika dalam pendidikan atau bisa kita sebut sebagai kemampuan manusia terbagi menjadi 3 bagian utama yaitu kognitif yang berkaitan dengan kecerdasan dan aspek intelektualitas lainnya, afektif yaitu terkait perasaan, minat dan sikap, dan psikomotorik terkait dengan keterampilan gerak. Ketiga aspek inilah juga yang berhubungan sangat erat dengan kemampuan manusia bisa mengendarai kendaraan. Dan yang menjadi pertanyaan, manakan yang paling dominan? Paling tidak dengan merasakannya sendiri.
Kita memisalkan dengan kendaraan tak bermotor saja, sepeda. Sepeda pada umumnya memiliki dua roda berbentuk lingkaran sempurna yang berputar kedepan untuk sepeda dapat bergerak, terdapat kendali berupa stir yang dikendalikan mengunakan dengan tangan, hal-hal tersebut sebelumnya merupakan aspek kognitif, pengetahuan seputar sepeda dan cara mengendarainya, atau kita sebut saja teori, apakah ini cukup untuk membuat kita bisa mengendarai sepeda? Ternyata tidak. Kalau tidak percaya cobalah dan kau akan jatuh (semoga bisa bangkit lagi). Aspek selanjutnya adalah afektif, dengan mengetahui tentang sepeda, detail atau tidak, jelas atau tidak, dapat menimbulkan ketertarikan, tergantung pada minat masing-masing, tetapi dari minat ini lahirlah niat lahirlah tekad. Ada perasaan ada keinginan untuk bisa melaju kencang diatas sepeda angin, tetapi ternyata dengan tekad saja (sebesar apapun tekad itu) ternyata tidak dapat membuatmu bisa naik sepeda, jika hanya itu yang kamu punya, ya kan?. Coba saja kamu duduk dikursi atau jok sepeda, lalu kuat-kuat teriakkan dalam hati bahwa “Aku bisa  bersepedaaaaaaa” apakah sepeda akan berjalan kedepan? Tidak. Aspek terakhir yang terbahas adalah psikomotorik, (Dalam hati: Nah, pasti ini nih) dengan sinkronnya syaraf-syaraf motorik maka wajar jika kaki bisa mengayuh kedepan, tangan bisa mengengam kemudi sepeda. Tapi pertanyaannya, bagaimana bisa mengerti jika yang dikayuh adalah pedal dan yang dikemudiakan adalah stang? Kenapa tidak memegang rantai saja?. Ternyata motorik itu juga dari sederetan informasi yang diterima dan diolah menjadi aspek kognitif, maka barulah bisa motorik bekerja kan? Bekerja dengan tepat tentunya, tidak asal-asalan.
Singkat kata, ketiga aspek tersebut yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik memegang peranan secara keseluruhan dalam pengendalian kendaraan, juga diri, right?. Kita mendapat pendidikan dari ayah bunda, jika beruntung juga dari sekolah dan lingkungan yang tepat, memiliki perasaan suci bersih hakikat manusia dan bergerak dengan segala macam manisfestasinya. Maka sudah seharusnya kita bisa mengendalikan diri, mengemudikan diri dalam jalan kebenaran, menuju tujuan hakiki kehidupan. Kalaua mau tidak, maka bukan untung yang didapat, tapi celaka dalam perjalanan kehidupan. SALAM SATU ASPAL. “Tetap lurus di kebenaran” (Google maps, 2018)

Surabaya, 8 Januari 2018 sehabis kursus mengemudi mobil.

Comments

Popular posts from this blog

Pemikiran berkembang

Ada dua hal yg menjadi catatan bergaris bawah (selain catatan lainnya) dr lembar 1-35 Buku Tourism marketing 3.0 yang sedang saya baca. Pertama adalah pergeseran dari individual ke social, dalam konteks ini adalah inisiatif pada masyarakat yg merata saat ini, yaitu masyarakat yg akses pendidikan, pengetahuan, jaringan, komunikasi dapat terjangkau oleh siapa saja, inisiatif dan perubahan tidaklah hadir dari satu orang superpower, tetapi merupakan kolektif dalam komunitas atau kelompok masyarakat yg mempunyai kesamaan persepsi dan mau bergerak bersama. Maka kawan,  temukan 'squad/clan' dan berusahalah menjadi superteam untuk sebuah kebaikan, bukan (hanya) menjadi superman. Kedua adalah generasi (yg) tua akan berfikir bahwa pengalaman adalah pengetahuan paling berharga, padahal diera sekarang perubahan itu datang dengan begitu cepat dan masiv, maka masa depan akan sangat dinamis dan berubah dari kondisi yang lalu, maka jangan hanya sibuk menengok kebelakang tapi tataplah kedepan

Prof ODi#1 Edible Insect

Design by Media/Jaringan KSE 2017 Halooo, Assalammualaikum, senang sekali malam ini bisa bertatap chat dengan sarangers semuaa, semoga selalu sehat dan bahagia disana. Moderator: Sevi Ratna Sari 1. Mas Dodik, sebenarnya Edible Insect itu apa sih??? Temen2 pasti dah tau, secara bahasa mungkin dapat diartikan sebagai serangga yang dapat dimakan.Tapi dimensinya sangat luas, dengan inti adalah "Pangan". Dimensinya bisa ke arah bisnis, sosial masyarakat, kesehatan dan gizi, teknologi, konservasi. 2. Wah, luas sekali berarti ya mas...􀄃􀇏Moon cry􏿿  Jadi kalu mau dibuat spesifikasi, serangga pa saja mas yang berpotensi sebagai edible insect? Apakah semua serangga? Dan sebenarnya apa yang membuat serangga itu dapat dikonsumsi oleh manusia? Nah, ini juga yang waktu itu ditanyakan oleh dosen pembimbing skripsi (Drs. Ign. SUdaryadi, M.Kes) waktu awal-awal konsul. Menurut Van Huis et al. (2013) serangga yang dapat dikatakan sebagai edible adalah yang memenuhi kriteria:

Pasca Kampus dan Gaya Hidup

Sudah seharusnya dan sewajarnya pada masa post modern seperti sekarang kita merasakan masamasa pasca pendidikan, pendidikan formal khususnya. Karena pasca bangku sekolah sungguh banyak ladang ilmu yang masih perlu dicangkul, digali sari pati pelajarannya. Ilmuilmu praktis yang bisa langsung dipraktekkan dan seringkali langsung berdampak. Selain itu, pasca sekolah juga menjadi ladang, bagi merekamereka untuk mencangkul dan menanam harapan, menumbuhkan semangat dan menuai hasilnya, yg tidak hanya sendirian menikmatinya, tapi untuk bersama. Idealnya begitu. Tapi setelah menapakinya, tenyata masih hutan belantara, ladang yg ideal belum ditemukan. Ada beberapa kemungkinan, kita terjebak dan tersesat tanpa pernah membuat ladang itu terwujud, atau kita terpaksa menumpang ladang orang, menjadi follower saja. Atau pilihan yg kebanyakan millenial menyukainya adalah menjadi orang yg membuka lahan sendiri. Tapi ini berat kawan. Tapi bukan mustahil. Banyak sekali semak menyesatkan, lumpur pengh