Skip to main content

Alat dan Niat dalam Pusaran Diri

Beberapa waktu lalu saya sempat menuliskan sesuatu di Istatory saya yang bunyinya seperti ini:”Bisa jadi bukan karena ketiadaan alat, tapi tidak hadirnya niat, Mungkin bukan karena tidak ada kesempatan, tapi karena tertutup kemalasan”. Hal tersebut terinspirasi saat saya mempersiapkan diri menjelang idul fitri, salah satunya potong rambut agar terlihat rapi dan klimis. Memang menunda hal yang dapat kita saat ini sering sekali membuat repot sendiri, bukan keuntungan yang didapat, tapi kemalangan dikemudian hari. Saat bisa potong rambut di Surabaya bahkan saat itu bapak dan om juga potong, saya memilih menundanya, ah nanti saja di desa. Dan memang benar sy potong rambut di desa, tapi bedanya saya harus antri panjang, hingga tidak jadi, kembali sore hari, sama saja ramenya, kembali esok hari ternyata makin ramai, wajar saja 1 desa dengan ribuan penduduk hanya ada 1 tukang cukur rambut (karena di desa kebanyakan masih potong rambut dengan tetangga, tapi ini sudah tergerus, kapan2 kita bahas), bahkan warga desa lain juga nimbrung potong di tempatnya Kang Kunto sebut saja demikian.
Hingga kata simbah, coba ke desa sebelah, ada tikangpotong rambut, mungkin tidak terlalu ramai, karena dia (maaf) tuna rungu dan wicara. Tanpa menunggu lama karena dikejar deadline lebaran, langsung saya geber motor honda karisma 125cc tahun 2003 punya simbah, sejenak menengok ke cukur Kang Kunto ternyata makin mengular antrian sampai ke jalanan, akhirnya karena langkah kaki sudah dibuat, pantang mundur sebelum berhasil atau tidak dapat berusaha lagi. Saya melanjutkan pencarian ke desa lain dengan bekal petunjuk “Rumahnya setelah pertigaan yang ke pasir putih”, pelan saya sisiri jalanan sempit desa yang jauh lebih padat dari desaku sendiri. Dan akhirnya ketemu. Terkejortnya saya, ternyata disana ramai juga, hingga pelangannya tiduran untuk menunggu, tapi belum terpantau yang sampai mendirikan tenda untuk berkemah. Langsung saja saya parkirkan motor ditempat teduh, masuk dan mengambil nomor antrian mengingatkan tempat cukur legend disebelah utara kampus ketika kuliah dulu. Oke nomer 26 dan yang sedang di cukur nomer 18. Tetap tegar. Dan benar saja, dari bisik pelangan lain, katanya 2 nomer sukah koib mengundurkan diri dari percaturan potong rambut ini. Akhirnya saya menunggu dan memperhatikan, ada kaca besar di depan dan belakang kursi pada umumnya cukur rambut, tapi yang menarik adalah bagian control panjang rambut yang sering di pasang dan di lepas pada mesin cukur ini tidak berwarna hitam, tapi warna warni, menarik. Selain itu juga ada banner terbentang lebar dengan fotofoto berbsagai model rambut. Ada sedikit keraguan, apakah bisa nanti potong rambut sesuai keinginan? Dan disinilah letak hikmah luar biasa selain hikmah2 lainnya.
Sebelum itu, ternya salah satu dari orang yang kabur tadi kembali lagi menagih nomer antrian yang dia tinggal pergi, ditambah ekspresi masamnya untuk membentengi orang protes, aku? Senyum saja hehe. Lalu saat tiba giliranku, aku duduk, mencoba rileks, lalu dia memasangkan kain. Kemudian menunjuk gambar seakan menisyarakan ‘silahlan pilih, mau model yang seperti apa?’ aku menunjuk salah satu gambar dab memberi isyarat atas tetep agak pendek. Lalu dia menganguk mengisyaratkan ‘oke’. Lalu dia mulai memoyong rmabut dengan serius, dan sesekali tersenyum terutama mendapati rambutku sekasar sapu ijuk dan susah disisir hingga dia menyemprotkan air berkalikali. Dia mulai memasang control pada alat cukur, dia mengunakan yang warna kuning. Bagian samping kanan, kiri dan belakang selesai. Lalu bagian atas belum berkurang, dia mengambil gunting sasak lalu menunjukkan padaku, dengan tersenyum, aku mengoyang telapak tangan tanda bukan itu maksudku, tapi dikurangi dulu dengan mesin, dia menganguk lagi tanda memahami, dia mengambil warna pink sehingga rambut tetap panjang sedikit, setelahnya baru mengunkan sasak, finishing dilakukan secara umum dengan menrapikan dan mencukur.
Potongannya rapi, saya bisa menilai ketekunan, fokus dan komunikasi adalah kekuatannya. ‘kekurangan’nya tidak menghalangi fungsi yang harus berjalan, karena dia ada niat ada usaha. Coba kita berkaca, dan melihan sekitar, begitu banyak menyalahkan kealphaan alat sedangkan niat saja belum tertata dengan benar, alih-alih menjadikan alat sebagai aling-aling kegagalan membangun niat dan usaha.

Tasikharjo, 12 Juni 2018

Comments

Popular posts from this blog

Pemikiran berkembang

Ada dua hal yg menjadi catatan bergaris bawah (selain catatan lainnya) dr lembar 1-35 Buku Tourism marketing 3.0 yang sedang saya baca. Pertama adalah pergeseran dari individual ke social, dalam konteks ini adalah inisiatif pada masyarakat yg merata saat ini, yaitu masyarakat yg akses pendidikan, pengetahuan, jaringan, komunikasi dapat terjangkau oleh siapa saja, inisiatif dan perubahan tidaklah hadir dari satu orang superpower, tetapi merupakan kolektif dalam komunitas atau kelompok masyarakat yg mempunyai kesamaan persepsi dan mau bergerak bersama. Maka kawan,  temukan 'squad/clan' dan berusahalah menjadi superteam untuk sebuah kebaikan, bukan (hanya) menjadi superman. Kedua adalah generasi (yg) tua akan berfikir bahwa pengalaman adalah pengetahuan paling berharga, padahal diera sekarang perubahan itu datang dengan begitu cepat dan masiv, maka masa depan akan sangat dinamis dan berubah dari kondisi yang lalu, maka jangan hanya sibuk menengok kebelakang tapi tataplah kedepan

Prof ODi#1 Edible Insect

Design by Media/Jaringan KSE 2017 Halooo, Assalammualaikum, senang sekali malam ini bisa bertatap chat dengan sarangers semuaa, semoga selalu sehat dan bahagia disana. Moderator: Sevi Ratna Sari 1. Mas Dodik, sebenarnya Edible Insect itu apa sih??? Temen2 pasti dah tau, secara bahasa mungkin dapat diartikan sebagai serangga yang dapat dimakan.Tapi dimensinya sangat luas, dengan inti adalah "Pangan". Dimensinya bisa ke arah bisnis, sosial masyarakat, kesehatan dan gizi, teknologi, konservasi. 2. Wah, luas sekali berarti ya mas...􀄃􀇏Moon cry􏿿  Jadi kalu mau dibuat spesifikasi, serangga pa saja mas yang berpotensi sebagai edible insect? Apakah semua serangga? Dan sebenarnya apa yang membuat serangga itu dapat dikonsumsi oleh manusia? Nah, ini juga yang waktu itu ditanyakan oleh dosen pembimbing skripsi (Drs. Ign. SUdaryadi, M.Kes) waktu awal-awal konsul. Menurut Van Huis et al. (2013) serangga yang dapat dikatakan sebagai edible adalah yang memenuhi kriteria:

Pasca Kampus dan Gaya Hidup

Sudah seharusnya dan sewajarnya pada masa post modern seperti sekarang kita merasakan masamasa pasca pendidikan, pendidikan formal khususnya. Karena pasca bangku sekolah sungguh banyak ladang ilmu yang masih perlu dicangkul, digali sari pati pelajarannya. Ilmuilmu praktis yang bisa langsung dipraktekkan dan seringkali langsung berdampak. Selain itu, pasca sekolah juga menjadi ladang, bagi merekamereka untuk mencangkul dan menanam harapan, menumbuhkan semangat dan menuai hasilnya, yg tidak hanya sendirian menikmatinya, tapi untuk bersama. Idealnya begitu. Tapi setelah menapakinya, tenyata masih hutan belantara, ladang yg ideal belum ditemukan. Ada beberapa kemungkinan, kita terjebak dan tersesat tanpa pernah membuat ladang itu terwujud, atau kita terpaksa menumpang ladang orang, menjadi follower saja. Atau pilihan yg kebanyakan millenial menyukainya adalah menjadi orang yg membuka lahan sendiri. Tapi ini berat kawan. Tapi bukan mustahil. Banyak sekali semak menyesatkan, lumpur pengh